Al-Isra Wal-Mi’raj: Harapan itu ada
19 April 2018
Add Comment
“Allahumma baarik Lanaa Rajab wa Sya’baan wa ballighna Ramadan”.
Doa di atas adalah doa yang sangat disunnahkan (masnuunah) oleh Rasulullah
SAW di saat memasuki bulan Rajab. Intinya memohon kepada Allah agar diberkahi
dengan tibanya bukan Rajab, yang diikuti oleh Sya’ban, lalu kemudian tiba Bulan
suci Ramadhan.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah kenapa doa ini secara khusus
dipanjatkan untuk ketiga bulan ini? Kenapa bukan Muharram di mana Rasulullah
SAW melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah? Atau Dzulhijjah di mana jutaan umat
Islam menjalankan ibadah haji?
Jawabannya adalah karena di ketiga bulan ini pintu-pintu keberkahan itu
terbuka lebar. Doa yang dipanjatkan itu sebagai konfirmasi dan affirmasi dari
keberkahan-keberkahan yang ada di bulan-bulan tersebut.
Kali ini akan melihat satu bentuk keberkahan yang Allah secara khusus
persiapkan bagi hamba-hambaNya di bulan Rajab. Tidak saja bahwa bulan Rajab
adalah masa terbaik untuk memulai persiapan-persiapan memasuki bulan suci
Ramadan. Bulan di mana seharusnya proses pensucian jiwa (Tazkiyah) dimulai.
Proses tazkiyah itu efektinya dimulai dengan proses “al-inaabah” (kembali) ke
jalan Tuhan dengan intensifikasi “istighfar” (memohon ampunan).
Hanya dengan proses tazkiyah itu hati menjadi bersih. Dan hanya dengan hati
uang bersih ibadah-ibadah yang nantinya dilakukan selama Ramadan akan menjadi
energi perubahan dalam kehidupan.
Hati yang penuh kotoran dan najis tidak akan menyatu dengan kesucian
langit. “Laa yamassuhu illa al-muthohharun” (Al-Quran tidak akan tersentuh
kecuali oleh mereka yang bersihkan”. Artinya kesucian Al-Quran itu tidak akan
tersentuh kecuali mereka yang suci jiwanya. Atau kesucian (petunjuk) Al-Quran
tidak akan menyentuh (menunjuki) kecuali orang-orang yang “hatinya” bersih.
Al-Isra wal-Mi’raj
Dari sekian banyak pintu-pintu barokah di bulan Rajab ini, barangkali
barokah terbesarnya adalah adanya sebuah malam di mana Rasulullah SAW
“diperjalankan” dalam perjalanan uang penuh hikmah dan makna. Itulah yang
dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Al-Isra wal-Mi’raj Rasulullah SAW.
Seringkali, disadari atau tidak, terjadi pergumulan intelektual di antara
orang-orang Islam, khususnya kalangan intelektual, tentang perjalanan di malam
hari ini. Bahkan pergumulan itu kerapkali terjadi dalam diri sendiri.
Benarkah itu terjadi secara fisik? Atau itu mimpi seorang nabi, dan mimpi bagi
nabi adalah haq (benar).
Ataukah Isra dan Mi’raj itu adalah ungkapan peristiwa yang lebih bersifat
majazi (non literal)?
Saya tidak pada posisi menyalahkan penafsiran siapapun, selama masih
mengimani wujudnya. Apapun pemahamannya selama masih meyakini bahwa informasi
qur’ani itu benar adanya. Yang berbera kemudian hanya bagaimana “kaefiyah”
(bentuk) peristiwanya.
Hanya satu hal yang ingin saya tegaskan bahwa perjalanan ini bukan
manusiawi, bukan Muhammad yang berjalan. Tapi perjalanan Rabbani, di mana
Muhammad diperjalankan. Maknanya adalah bahwa Muhammad tidak lebih dari “objek”
dari kekuatan yang Maha tidak terbatas.
Itulah makna dari “Subhana” (Maha Suci Allah). Sebuah ungkapan yang hanya
terungkap ketika bersentuhan dengan sesuatu yang ada di luar atau di atas daya
nalar manusia.
Maka “subhana Alladzi asraa bi ‘abdihi” (Maha Suci Dia yang memperjalankan
hambanya di malam hari) merupakan statemen yang tegas bahwa peristiwa ini tidak
ada keraguan padanya. Meragukan peristiwa ini bisa berarti meragukan kekuasaan
Allah yang tiasa batas.
Challenges turn opportunities
Ungkapan ini seringkali saya sampaikan di mana-mana. Bahwa di balik setiap
tantangan dan kesulitan itu selalu tersembunyi solusi dan kemudahan. Ungkapan
ini bukan kesimpulan pribadi saya. Tapi penegasan Ilahi dalam KitabNya:
“Sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan.
Peristiwa Al-Isra wal-Mi’raj dilalui oleh berbagai kesulitan dan tantangan
yang terjadi dalam perjalanan dakwah baginda Rasul SAW. Keputus asaan kaum
musyrik Mekah ketika itu untuk menghentikan pergerakan dakwah Rasulullah SAW
menjadikan mereka memboikot Bani Hasyim (keluarga baginda Nabi SAW).
Masa-masa tersulit itu diikuti pula oleh peristiwa yang benar-benar
menyedihkan bagi Rasulullah SAW secara pribadi, maupun secara misi sangat
menyedihkan. Berapa tidak, dua orang terdekat beliau; Khadijah isteri
tercinta dan Abu Tholib paman tercinta beliau meninggal dunia.
Di saat-saat tantangan dakwah yang semakin memuncak itu, dua sosok yang
dianggap benteng pertananan Rasulullah SAW meninggalkan beliau.
Khadijah adalah sosok wanita, bukan saja isteri Rasulullah SAW. Tapi
sahabat perjuangan dari awal, dan benteng internal yang paling
terpercaya.
Sementara itu Abu Tholib memang bukan Muslim. Tapi beliau adalah simpatisan
dakwah yang luar biasa. Cintanya kepada Rasulullah SAW tidak kurang dari
cintanya kepada anak-anaknya sendiri, serti Ali. Rasulullah pun cinta kepadanya
bagaikan ayahnya sendiri. Abu Tholib dianggap sebagai benteng eksternal
perjuangan Rasulullah SAW.
Dengan tiadanya kedua benteng pertahanan itu dan dit tengah memuncaknya
resistensi kaum musyrik Mekah, Muhammad (SAW) sebagai manusia merasakan
masa-masa seolah dunianya telah selesai. Pandangan mata beliau seolah buram,
tiada lagi cahaya harapan ke depan. Seolah-seolah perjuangan itu telah
menemukan lobang lahadnya, terkubur selamanya.
Di tengah suasana kemanusiaan yang mengalami kegelisahan, kesedihan, bahkan
kekhawatiran itu, Allah kembali menunjukkan: “maa wadda’aka Rabbuka wa maa
qalaa”. Bahwa Tuhanmu tidak akan pernah meninggalkanmu, apalagi membencimu”
(Al-Quran).
Allah SWT memutuskan untuk mengangkatnya ke atas. Iya ke atas di ketinggian
langit. Di langit tertinggi untuk bertemu dengan Yang Maha Tinggi.
Inilah barokah tertinggi bulan Rajab. Bulan yang disiapkan untuk menemukan
ketinggian langit tengah rendahnya bumi. Menemukan kemuliaan dan pertolongan samawi
dalam menghaapi tantangan dan kesulitan bumi.
Semoga kesulitan dan berbagai masalah yang kita hadapi saat ini dihadapi
dengan wawasan optimisme itu membuka pintu-pintu barokah itu. Bahwa dengan
keyakinan akan kekuasaan dan kekuatan langit yang tiada batas, semua
permasalahan ada solusinya. Dan di balik semua kesulitan ada kemudahan.
Tentu dalam konteks ke Indonesiaan kita jangan pernah terbawa arus fiksi
jika Indonesia akan bubar. Ambillah itu sebagai “dzikra” (peringatan) yang
tidak perlu menumbuhkan pessimisme yang berlebihan. Mungkin momentum pilkada
maupun pilpres adalah cara terbaik merespon prediksi itu. Dengan pilkada dan
pilpres semua anak-anak bangsa perlu membangun kesadaran dan pintar menentukan
pilihannya.
Karena wajah pemerintah boleh jadi wajah rakyat. Bukankah memang, dalam
dunia demokrasi rakyatkah yang menentukan bagaimana wajah pemerintah, sekaligus
wajah bangsa dan negara ke depan? Semoga!
(15 April, Jeddah, KSA)
* Presiden Nusantara Foundation
0 Response to "Al-Isra Wal-Mi’raj: Harapan itu ada "
Post a Comment