Opini : Politik dan masjid
29 April 2018
Add Comment
Akhir-akhir ini isu politik dan masjid lagi
hangat didiskusikan. Konon kabarnya ada pelarangan untuk membicarakan politik
di masjid. Bahkan ada kelompok yang menamai diri sebagai komunitas anti
politisasi masjid.
Bahkan kabarnya tidak tanggung-tanggung
Menteri Agama RI juga telah memberikan pernyataan langsung melarang apa yang
dianggap politik di masjid-masjid. Lebih jauh dan tanpa reservasi, beberapa
ulama atau Ustadz juga telah menyampaikan pelarangan, minimal peringatan bahwa
menyinggung politik di masjid seolah sesuatu yang kontra kebaikan.
Tapi benarkah masjid dan politik adalah
sesuatu yang paradoksial (bertolak belakang)? Perlukah isu politik dijadikan
sesuatu yang nampak sebagai ancaman (threat) jika disampaikan di masjid?
Saya menilai jawaban terhadap pertanyaan di
atas memerlukan analisa dan pemikiran yang lebih bijak. Mengambil kesimpulan
bahwa masjid dan politik adalah dua hal yang paradoks justeru dicurigai sebagai
bentuk politisasi terselubung. Tujuannya jelas menjauhkan umat dari kesadaran
politik.
Saya justeru cenderung melihat isu ini
dengan memakai kacamata dan perspektif yang berbeda. Saya menilai dalam melihat
isu politik dan masjid, ada dua hal yang harus dibedakan.
Pertama, politisasi masjid dalam arti
menjadikan masjid sebagai persinggahan dalam upaya mendapatkan kepentingan
politik.
Kedua, penyadaran politik dalam arti masjid
dijadikan sebagai salah satu tempat di mana umat mendapatkan penyadaran atau
pendidikan politik yang baik.
Politisasi masjid
Politisasi masjid dapat didefenisikan
sebagai penggunaan masjid sebagai alat dalam memburu kepentingan politik
seseorang. Masjid bukan sebagai tempat penyadaran atau pendidikan politik.
Melainkan dijadikan tunggangan bagi kepentingan politik tertentu.
Politisasi masjid Inilah yang melahirkan
karakter religious spontan (spontaneous religiosity). Di mana seseorang
mendadak beragama dengan tiba-tiba rajin ke masjid-masjid. Atau tiba-tiba
menampilkan simbol-simbol keagamaan, seperti selalu rapih dengan baju koko dan
kopiahnya.
Padahal sebelum memasuki masa-masa
kampanye, jangankan rajin ke masjid, bahkan jika dia adalah pejabat,
kebijakan-kebijakannya selama ini kurang menguntungkan umat. Lebih buruk lagi
bahkan selain di musim politik, orang itu dikenal anti Islam atau Islamophobik.
Politisasi masjid juga menumbuhkan
religiositas musiman (seasonal religiosity). Tiba-tiba ada orang-orang yang di
musim politik atau kampanye menjadi sangat sadar agama. Padahal sebelum masa
politik mereka sama sekali tidak mau, bahkan malu menampakkan keagamaan.
Politisasi masjid inilah yang sesungguhnya
yang sangat tidak relevan dengan masjid. Inilah bentuk “penunggangan” masjid
untuk kepentingan politik. Dan saya sangat yakin, hal ini seperti inilah yang
harus diingatkan agar dijauhkan dari masjid-masjid.
Masjid dan penyadaran politik umat
Perlu diingat kembali bahwa bagi seorang
Muslim yang sadar agama, masjid bukan sekedar tempat sujud dalam arti ritual.
Masjid justeru pusat sujud dalam arti menyeluruh. Sujud dalam arti menyeluruh
bagi seorang Muslim adalah pengabdian totalitas seorang hamba kepada Rabbnya.
Dan karenanya masjid harus menjadi pusat
pembangunan kehidupan umat. Itulah yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW
ketika berpindah ke Madinah. Membangun masjid adalah fondasi awal dari
pembangunan kehidupan keumatan (komunitas).
Oleh karena Islam bukan sekedar agama dalam
arti sempit (kumpulan aturan-aturan ritual semata) maka sayogyanya politik
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keagamaan.
Memang diakui atau tidak pandangan ini
dapat membawa kepada pemahaman kaku dan sempit yang akhirnya melahirkan
sikap-sikap politik yang ekslusif dan sempit. Pandangan seperti ini boleh saja
melahirkan perpecahan dan keresahan.
Oleh karenanya diperlukan pemahaman yang
imbang, inklusif dan rasional. Pemahaman seperti ini akan melahirkan penahaman
dan prilaku politik yang wajar, imbang dan inklusif.
Memisahkan politik dari agama (tentu juga
rumah ibadah) memang menjadi keharusan bagi negara-negara yang menganut paham
sekuler. Karena memang agama sama sekali tidak ada kaitannya dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Tapi di sinilah keunikan Indonesia. Bahwa
Indonesia memang bukan negara agama. Tapi agama menjadi bagian mendasar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya politik dan agama tidak wajar
dipisahkan. Atau sangatlah tidak sesuai jika parlemen atau istana negara
dipisahkan dari masjid atau rumah ibadah.
Setuju atau tidak setuju kenyataannya
memang demikian. Agama dan kehidupan publik di negara Indonesia tidak bisa
dipisahkan. Keputusan publik yang tidak menghiraukan nilai-nilai agama justeru
dapat dianggap sebagai kebijakan yang secara inheren (mendasar) bertentangan
dengan dasar negara, Pancasila.
Oleh karenanya jangan secara simplistik
mengambil kesimpulan bahwa politik harus dijauhkan dari masjid. Sebaliknya
masjid harus dijadikan sebagai salah satu pusat penyadaran atau pendidikan
politik bagi umat. Alangkah ruginya secara politik umat ini jika masjid hanya
dijadikan tempat ibadah ritual.
Selain tidak sejalan dengan pemaknaan
masjid yang sesungguhnya, juga dicurigai jangan-jangan hal ini adalah bagian
dari pembodohan agar umat selalu alergi, bahkan melihat politik sebagai racun
agama.
Hal lain yang perlu dikritisi adalah jangan
sampai pelarangan ini identik dengan masjid-masjid semata. Karena kenyataannya
bukan sesuatu yang baru jika di rumah-rumah ibadah lainnya juga kerap kali
disampaikan isu-isu politik. Bukti-bukti itu dapat ditemukan di berbagai media
sosial, termasuk YouTube, ditemukan banyak ceramah-ceramah politik di
rumah-rumah ibadah non Islam.
Kesimpulannya saya setuju denganp
pelarangan politisasi masjid. Tapi saya tidak setuju dengan pelarangan politik
di masjid. Semoga bisa dipahami dan tidak gagal paham. Insya Allah!
Oleh Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
0 Response to "Opini : Politik dan masjid"
Post a Comment