Masih Relevankah Gerakan Masyarakat Sipil?
09 May 2018
Add Comment
![Masyarakat Civil Society](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEMSUcnN4VFlnx0XUSP5LV0Cwhpb7qldmQHEGoMhfmxDSmHbr4MwjafT6FYBJt8ITRO3zd3JdbRQFMECEP37AExO5ZZANdMxJvQqC1jDkMH1y063PNQVuiqX248fSQXBUHzxQYDTbUre7m/s1600/Civil-Society.jpg)
Pemilu memang baru akan diselenggarakan setahun lagi. Akan
tetapi, tidak dapat dimungkiri hawa panas pertarungan politik sudah membuat
kita gerah. Pemilu – dan polarisasi yang mengiringinya – seakan tak lekang
menyita seluruh perhatian sekaligus menjadi bahan bakar sebagian besar
percakapan hari ini. Seiring dengan semakin dekatnya 2019, dan sebelum wacana
publik sehari-hari jadi tambah ruwet dan sukar diurai ujung pangkalnya, penting
bagi masyarakat sipil untuk selekasnya menyusun pemetaan atas kekuatan politik
yang akan terlibat dalam gelanggang 2019, dan yang terpenting, mulai menakar
kondisi serta peranan yang bisa dimainkan oleh gerakan masyarakat sipil di
tengah pusaran kontestasi tersebut.
Terkait tujuan yang pertama,
penting kiranya untuk terlebih dahulu memahami corak dan konfigurasi ideologis
dari partai politik di Indonesia. “Mapping
the Indonesian Political Spectrum” kurang lebih berusaha memenuhi
kebutuhan ini. Artikel yang ditampilkan di New Mandala ini antara lain
bermaksud menguji kebenaran asumsi yang jamak kita imani sehari-hari dengan
mengajukan pertanyaan sederhana: “Betulkah partai politik di Indonesia tidak
memiliki ideologi?”
Metode yang dipakai penelitian
tersebut adalah dengan melakukan survei terhadap kader partai dan anggota DPRD
di 31 provinsi di Indonesia. Lewat kuesioner dan wawancara, survei ini meminta
narasumber untuk menjelaskan sebisa mungkin posisi ideologis partai mereka.
Secara garis besar, hasil yang diperoleh sesungguhnya tak jauh berbeda dengan
apa yang selama ini rutin dikemukakan: partai politik Indonesia pada dasarnya
tidak memiliki perbedaan mencolok, baik dari segi ideologi maupun afiliasinya
dengan isu dan gagasan progresif. Rata-rata partai politik “merasa aman” berada
di tengah-tengah, kadang sedikit mampir di spektrum kiri, kali lain bergeser
sedikit ke kanan. Namun, seperti mengkonfirmasi dugaan banyak akademisi,
diferensiasi ideologis antar partai dapat terlihat jelas pada isu politik
identitas – apakah sebuah partai politik menerima Islam sebagai landasan utama
agenda politik atau tidak. Artikel ini berkesimpulan bahwa PDIP saat ini berada
di posisi paling “Pancasilais”, sedangkan PPP berada di spektrum yang paling
“Islam”.
Selanjutnya, ketika para
narasumber ditanya mengenai persepsi mereka atas perbedaan partai-partai di
Indonesia, mayoritas narasumber dari partai yang relatif beridentitas kuat
(PKS, misalnya) mengatakan bahwa semua partai politik itu berbeda antara satu
dengan yang lainnya, sedangkan kader partai yang cenderung beridentitas
moderat-pragmatis (Golkar, misalnya) cenderung sejalan dengan asumsi bahwa
semua partai di Indonesia pada hakikatnya setali tiga uang.
Pada dasarnya survei tersebut
memang belum mengkonfirmasi sesuatu yang baru. Bahkan dia terkesan mengamini
keberadaan status quo yang kita alami sejak reformasi 1998; bahwa politik kita
makin menyerupai kubangan air yang tidak memiliki saluran kemana-mana. Penyebabnya?
Tidak ada partai yang mengusung ideologi baru dan distingtif; Sementara
terobosan yang muncul dari partai politik pun hanya beredar di seputar tawaran
politik identitas. Lantas, adakah alternatif yang tersedia?
Apa
Kabar Gerakan Masyarakat Sipil?
Ini membawa kita ke tujuan
berikutnya: menerka kondisi gerakan masyarakat sipil sebagai salah satu faktor
yang diharapkan sanggup menawarkan alternatif dari politik kekuasaan yang ada.
Disinilah artikel Sana Jaffrey, “Civic
Structures and Uncivic Demands in Indonesia” yang meneropong
gerakan sosial kontemporer dari sudut yang sama, menjadi penting.
Secara garis besar, artikel
Jaffrey mengutarakan analisa yang cukup pesimis: pasca 1998, muncul banyak
sekali hambatan dalam upaya konsolidasi gerakan sosial, yang pada ujungnya
membuahkan fragmentasi kronis dalam tubuh masyarakat sipil. Menurut Jaffrey,
salah satu hambatan itu adalah kembalinya fungsi represif (repressive functions) dari
RT/RW, organisasi masyarakat yang paling lekat dengan aktivitas community engagement di
tataran akar rumput. Apabila di era Soeharto RT/RW menjadi sarana manajemen
keamanan dan dissent
control ala OrBa, maka di era Joko Widodo ia terjepit di dalam
polarisasi – entah berfungsi sebagai “polisi warga” binaan Kemendagri yang
bertugas menindak kegiatan keagamaan yang mencurigakan, atau sebaliknya malah
terlibat aktif dalam upaya mobilisasi dan pelaksanaan tindakan intoleran
(pengusiran minoritas, persekusi, dan lain-lain).
Fenomena ini diperparah oleh
kooptasi para oligark atas Serikat Buruh dan Organisasi Tani. Akibat kooptasi
dan fragmentasi, ujar Jaffrey, praktis gerakan masyarakat yang masih aktif dan
masif pergerakannya hanyalah kelompok hardliners yang
mengusung intoleransi. Sementara elemen masyarakat sipil di luar kelompok ini malah
sering luput dalam membangun perlawanan efektif untuk isu-isu publik yang
krusial, seperti tercermin dalam sepinya respon sipil atas pengesahan UU MD3
tempo hari.
Situasi ini sedikit banyak
mencetuskan tugas yang harus sesegera mungkin dilakoni: Kita perlu merumuskan
bagaimana caranya masyarakat sipil dapat memecah kebuntuan. Tapi sebelumnya,
untuk meninjau lanskap gerakan masyarakat sipil kiwari, pijakan pertama yang
diambil adalah dengan mengkaji terlebih dahulu “spektrum” Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil. Ok,
bagaimana kabar LSM Indonesia?
Di alam pasca reformasi, LSM
(dalam konteks diskusi ini, dapat juga disebut sebagai NGO/Ornop/CSO) Indonesia
berada di posisi yang unik. Berbeda dengan negara-negara lain di Asia Tenggara
seperti Thailand dan Filipina, LSM Indonesia sangat mengambil jarak dengan
parlemen, bahkan cenderung alergi untuk bersentuhan dengannya. Tak hanya
memusuhi parlemen, ia juga memusuhi gagasan untuk membangun hubungan dengan
parlemen. Seakan-akan apabila LSM sedikit saja berinteraksi dengan parlemen
dalam sekejap mereka sudah kehilangan independensi. Sebab itu, LSM Indonesia
tak memiliki tradisi untuk menjalin hubungan strategis jangka panjang dengan
aktor legislatif demi mendorong isu dan kepentingan mereka.
Tradisi ini menghasilkan apa
yang disebut dengan “legal
fetishism”, dimana LSM menolak terlibat dalam proses politik
parlemen dan memilih untuk menggantungkan harapan pada putusan pengadilan,
hasil judicial review, dan
ranah eksekutif untuk mengajukan undang-undang, atau lebih sering lagi, pada
kekuatan prerogatif presiden untuk mengintervensi situasi. Kecenderungan ini
mudah dilihat dari pernyataan standar LSM selama ini: “A: Menuntut Pemerintah Untuk…”, “B: Mendesak Pemerintah Untuk…”, ad infinitum. Sementara
itu jejaring strategis dengan ranah legislatif jarang pernah dirintis. Apalagi,
upaya mobilisasi dukungan untuk mendorong perubahan sering terbatas, bahkan
merasa cukup puas dengan menjadi bagian dari netizen yang bisanya cuma bising
di dunia maya.
LSM seperti alpa akan tugasnya
yang diemban terutama saat era Reformasi bergelora – selaku bagian
dari civil
society, ia hadir untuk memperkuat demokrasi. LSM tidak sadar
bahwa alerginya terhadap parlemen dan ketergantungannya yang berlebihan
terhadap eksekutif sesungguhnya telah menciptakan preseden buruk; bahwa proses
politik boleh di-bypass begitu
saja setiap kali dipandang perlu. Kebiasaan ini justru memperlemah demokrasi.
Hal ini dapat kita lihat pada satu kesempatan di tahun 2015, saat ramai
berhembus isu untuk membubarkan parlemen. Respon masyarakat sipil? Adem ayem
saja. Diam-diam mungkin malah menyetujui.
Dampak yang langsung terasa
dari jarak LSM dengan parlemen adalah hampir tidak adanya bargaining power yang
dimiliki LSM dalam proses pengambilan kebijakan di Indonesia. Lobi-lobi LSM di
parlemen masuk kuping kiri, keluar kuping kiri. Temu dengar dengan parlemen
berubah jadi formalitas belaka karena LSM tak ubahnya anjing galak yang ompong:
mahir menggonggong, tapi semua hadirin tahu bahwa ia tak mampu menggigit.
Pembacaan paling pahit dari
situasi ini adalah: ada atau tidaknya LSM seperti tak ada pengaruhnya bagi
suatu kebijakan. Realitasnya di lapangan, acap kali LSM sudah tidak dianggap.
Programnya hari ini tambah sulit untuk dicerna dan diterima masyarakat. Di
dalam sektor HAM, ada empat isu yang selalu “dipasrahkan pada nasib”: hukuman
mati, LGBT, Ahmadiyah dan Komunisme, serta terorisme. LSM bisa bicara panjang
tentang keempat isu ini, tetapi hasilnya seperti sudah dapat diprediksi sejak
awal. Melihat posisinya, jangankan melancarkan critical engagement, masih punya
kesempatan tatap muka saja sudah bagus. Sekelumit kisah suram para pekerja LSM
mengeluhkan bahwa pertemuan dengan anggota parlemen “eks-gerakan” di kesempatan
temu dengar pun kadang ditutup dengan sesi nostalgia murahan nirfaedah.
Di lain pihak, pemerintah
tambah getol mengulik cara untuk mengontrol hidup-mati sebuah LSM. Ini
dilakukan terutama dengan menyasar “jantung” LSM, yakni pendanaan dari lembaga
donor. Upaya mengontrol pendanaan ini kian masif sejak tahun lalu, saat Uni
Eropa ingin membatasi ekspor sawit dari Indonesia karena produk sawitnya yang
tidak ramah HAM. Pemerintah yang sedang haus devisa murka dibuatnya. Segera
beredar isu bahwa dana bantuan lembaga donor ingin dibatasi, terutama untuk
lembaga-lembaga yang dituduh “menjelekkan” Indonesia di forum luar negeri.
Puncaknya, kabar yang berkembang kemudian adalah Negara akan meniru skema
pendanaan asing dari Rusia dengan membentuk trust fundsebagai wadah bagi bantuan donor
asing. Trust fund ini
nanti akan dikelola pemerintah, sementara LSM yang hendak mengakses pendanaan
wajib menyerahkan proposal dan didata sebagai “foreign agent”. Ketergantungan LSM terhadap
lembaga donor memang selalu jadi persoalan, tapi skema ini malah akan
memperparah situasi yang sudah runyam ini.
Sampai sini kita harus kembali
pada pertanyaan klasik: masih relevankah menaruh harapan pada gerakan
masyarakat sipil untuk menyatukan kekuatan dan membangun oposisi? Melihat
kondisi sekarang: sulit. Seperti yang disampaikan Jaffrey, fragmentasi kronis
di kalangan masyarakat sipil membuat para LSM kesulitan mencapai titik temu.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, upaya menyatukan LSM di Indonesia memang selalu
kandas di tengah jalan, tapi percakapan yang mengarah kesana tetap rutin
dilaksanakan. Kini hasrat tersebut boleh dibilang sudah raib sama sekali.
Masing-masing lembaga terlalu berorientasi untuk memenuhi target domestiknya.
Belum lagi perkara persaingan dana, atau mengutip istilah LSM, “rebutan lapak”,
yang kerap berakhir menjadi perselisihan berkepanjangan. Kerjasama yang tumbuh
dari kondisi ini akhirnya bersifat taktis belaka, sebatas misalnya untuk siaran
pers bersama, koalisi temporer, atau berbagi tempat rapat. Tidak lebih.
Penyebab utamanya barangkali
memang kultur LSM yang tidak lagi menyasar pada pembangunan kekuatan alternatif
di tengah masyarakat. Skema pendonoran, “jantung” LSM yang telah disebut di
atas, tak ayal turut menciptakan LSM yang saling tersekat dalam program
masing-masing. Misinya jadi kelewat pragmatis dan sederhana; mengamankan
pendanaan. Program pendidikan publik di daerah ditutup satu demi satu.
Sementara masyarakat di daerah mengeluhkan kebiasaan dimana semua kasus harus
“semua dibawa ke Jakarta”. Walhasil, generasi baru keburu menganggap bahwa LSM
sekedar pemadam kebakaran yang baru kalang-kabut kalau ada api dan tak lagi
memiliki kemampuan untuk membuat wacana atau terobosan baru. Lekas buang
jauh-jauh impian lahirnya gerakan akar rumput, karena tanpa disadarinya, LSM
telah menjadi layang-layang putus yang makin jauh meninggalkan masyarakat luas.
Kombinasi antara faktor –
faktor diatas, ditambah polarisasi yang terjadi pasca Pemilu 2014 – antara
mereka yang mendukung Joko Widodo, Prabowo, atau menolak mendukung keduanya –
dan lack of
leadership di kalangan masyarakat sipil, telah menciptakan
vakum dalam gerakan sosial yang akhirnya diisi oleh kelompok – kelompok yang
kini mengusung sentimen sektarian.
Urgensi
Pada 2014, bisa dibilang hampir
segenap elemen masyarakat sipil terlanjur mengkultuskan kedua calon yang ada:
Joko Widodo sebagai penyelamat dan Prabowo sebagai penjahat. Tidak ada
imajinasi lain di luar pengkultusan figur tersebut. Blunder ini yang belakangan
membuat masyarakat sipil gamang dan serba ragu untuk mengkritik Joko Widodo.
Gara-gara hipnotis populisme, LSM gagal merancang peta bagi gerakan masyarakat
sipil pasca kemenangan Joko Widodo. Niatan untuk “mengawal Joko Widodo secara
kritis” nyatanya tidak pernah terlaksana. Kekeliruan ini harus diakui dan
dibenahi secara serius menjelang 2019.
Setelah dibikin kenyang melihat
sepak terjangnya selama 4 tahun terakhir, semakin jelas bahwa citra demokratis
rezim ini tiada beda dengan gambar tempel yang mulai pudar warnanya. Hari ini
dengan percaya diri (karena nyaris tidak ada yang membayangkan calon selain
dirinya dapat menang pada 2019 nanti) Presiden menikmati kompetisi balap karung
politik berhadiah posisi Cawapres, sementara ia tinggal leha-leha sambil
menonton dari puncak piramida. Di saat yang sama, hegemoni rezim mendesak
gerakan sosial yang masih tersisa di luar istana untuk segera bergabung dengan
gerbong Nawacita kalau masih ingin dianggap relevan oleh penguasa dan tidak
tenggelam dalam obscurity.
Melihat keadaan ini, wajar
kalau beberapa dari kita dihinggapi putus asa, bahkan apatisme, karena
menyadari bahwa kemungkinan besar dominasi rezim ini akan berlanjut hingga
periode kedua. Meski demikian, kita tahu bahwa apabila status quo terus
berlanjut, tatanan demokrasi itu sendiri terancam sulit untuk pulih kembali. Keruntuhan
demokrasi terus berjalan terlepas dari siap atau tidaknya kita menerima
kenyataan. Kenyataan bahwa meskipun sulit dan kecil peluangnya, kita harus
mulai bertaruh di antara opsi-opsi yang saat ini tersedia. Saatnya menghadapi
pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama gentayangan: Bagaimana cara kita
mengganti Joko Widodo? Apakah dengan mendukung oposisi yang muncul, siapapun dia? Jika ya,
siapkah kita mulai beriringan dengan tokoh seperti Gatot Nurmantyo atau Prabowo
Subianto? Jika tidak, adakah jalan lain? Apakah dengan mengupayakan agar pemilu
2019 dinyatakan tidak valid (batal demi hukum akibat regulasi threshold dalam UU
No. 7 tahun 2017)? Atau dengan mengusung kampanye golput?
Terlepas dari jawaban yang kita
pilih nanti, adalah esensial untuk segera mengupayakan konsolidasi bagi
masyarakat sipil yang tengah berceceran ini dan mengupayakan jalan ketiga.
Organisasi masyarakat sipil perlu untuk menyesuaikan orientasi kelembagaannya
demi menyambut pertempuran yang telah menanti di depan. Dengan konsolidasi,
kita tidak akan lagi secara taklid buta menyerahkan cita-cita demokrasi pada
satu figur atau kelompok tanpa strategi dan perencanaan yang masuk akal,
seperti yang terjadi secara tragis pada 2014. Pada akhirnya, memang
kepemimpinan sipil yang menjanjikan hanya bisa dirintis lewat dinamika di dalam
masyarakat sipil itu sendiri, sehingga ia tidak akan mudah digerus oleh
transaksi politik di kemudian hari. Petunjuk jalan untuk menuju kesana tidak
akan tiba-tiba muncul dalam waktu dekat, tapi ia penting untuk selalu
diupayakan. Selebihnya, prioritas dan sasaran kita sampai setahun ke depan –
rasanya sudah jelas: Tidak, tidak lagi kita memilih dengan logika lesser evil, rezim Joko
Widodo maupun pilihan tokoh korup-pelanggar HAM-intoleran lainnya harus
berakhir di periode ini.
*Artikel bersumber dari resume Sorge Magazine
0 Response to "Masih Relevankah Gerakan Masyarakat Sipil?"
Post a Comment