-->

Masih Relevankah Gerakan Masyarakat Sipil?

Civil Society
Pemilu memang baru akan diselenggarakan setahun lagi. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri hawa panas pertarungan politik sudah membuat kita gerah. Pemilu – dan polarisasi yang mengiringinya – seakan tak lekang menyita seluruh perhatian sekaligus menjadi bahan bakar sebagian besar percakapan hari ini. Seiring dengan semakin dekatnya 2019, dan sebelum wacana publik sehari-hari jadi tambah ruwet dan sukar diurai ujung pangkalnya, penting bagi masyarakat sipil untuk selekasnya menyusun pemetaan atas kekuatan politik yang akan terlibat dalam gelanggang 2019, dan yang terpenting, mulai menakar kondisi serta peranan yang bisa dimainkan oleh gerakan masyarakat sipil di tengah pusaran kontestasi tersebut.
Terkait tujuan yang pertama, penting kiranya untuk terlebih dahulu memahami corak dan konfigurasi ideologis dari partai politik di Indonesia. “Mapping the Indonesian Political Spectrum” kurang lebih berusaha memenuhi kebutuhan ini. Artikel yang ditampilkan di New Mandala ini antara lain bermaksud menguji kebenaran asumsi yang jamak kita imani sehari-hari dengan mengajukan pertanyaan sederhana: “Betulkah partai politik di Indonesia tidak memiliki ideologi?”
Metode yang dipakai penelitian tersebut adalah dengan melakukan survei terhadap kader partai dan anggota DPRD di 31 provinsi di Indonesia. Lewat kuesioner dan wawancara, survei ini meminta narasumber untuk menjelaskan sebisa mungkin posisi ideologis partai mereka. Secara garis besar, hasil yang diperoleh sesungguhnya tak jauh berbeda dengan apa yang selama ini rutin dikemukakan: partai politik Indonesia pada dasarnya tidak memiliki perbedaan mencolok, baik dari segi ideologi maupun afiliasinya dengan isu dan gagasan progresif. Rata-rata partai politik “merasa aman” berada di tengah-tengah, kadang sedikit mampir di spektrum kiri, kali lain bergeser sedikit ke kanan. Namun, seperti mengkonfirmasi dugaan banyak akademisi, diferensiasi ideologis antar partai dapat terlihat jelas pada isu politik identitas – apakah sebuah partai politik menerima Islam sebagai landasan utama agenda politik atau tidak. Artikel ini berkesimpulan bahwa PDIP saat ini berada di posisi paling “Pancasilais”, sedangkan PPP berada di spektrum yang paling “Islam”.
Selanjutnya, ketika para narasumber ditanya mengenai persepsi mereka atas perbedaan partai-partai di Indonesia, mayoritas narasumber dari partai yang relatif beridentitas kuat (PKS, misalnya) mengatakan bahwa semua partai politik itu berbeda antara satu dengan yang lainnya, sedangkan kader partai yang cenderung beridentitas moderat-pragmatis (Golkar, misalnya) cenderung sejalan dengan asumsi bahwa semua partai di Indonesia pada hakikatnya setali tiga uang.
Pada dasarnya survei tersebut memang belum mengkonfirmasi sesuatu yang baru. Bahkan dia terkesan mengamini keberadaan status quo yang kita alami sejak reformasi 1998; bahwa politik kita makin menyerupai kubangan air yang tidak memiliki saluran kemana-mana. Penyebabnya? Tidak ada partai yang mengusung ideologi baru dan distingtif; Sementara terobosan yang muncul dari partai politik pun hanya beredar di seputar tawaran politik identitas. Lantas, adakah alternatif yang tersedia?
 Apa Kabar Gerakan Masyarakat Sipil?
Ini membawa kita ke tujuan berikutnya: menerka kondisi gerakan masyarakat sipil sebagai salah satu faktor yang diharapkan sanggup menawarkan alternatif dari politik kekuasaan yang ada. Disinilah artikel Sana Jaffrey, “Civic Structures and Uncivic Demands in Indonesia” yang meneropong gerakan sosial kontemporer dari sudut yang sama, menjadi penting.
Secara garis besar, artikel Jaffrey mengutarakan analisa yang cukup pesimis: pasca 1998, muncul banyak sekali hambatan dalam upaya konsolidasi gerakan sosial, yang pada ujungnya membuahkan fragmentasi kronis dalam tubuh masyarakat sipil. Menurut Jaffrey, salah satu hambatan itu adalah kembalinya fungsi represif (repressive functions) dari RT/RW, organisasi masyarakat yang paling lekat dengan aktivitas community engagement di tataran akar rumput. Apabila di era Soeharto RT/RW menjadi sarana manajemen keamanan dan dissent control ala OrBa, maka di era Joko Widodo ia terjepit di dalam polarisasi – entah berfungsi sebagai “polisi warga” binaan Kemendagri yang bertugas menindak kegiatan keagamaan yang mencurigakan, atau sebaliknya malah terlibat aktif dalam upaya mobilisasi dan pelaksanaan tindakan intoleran (pengusiran minoritas, persekusi, dan lain-lain).
Fenomena ini diperparah oleh kooptasi para oligark atas Serikat Buruh dan Organisasi Tani. Akibat kooptasi dan fragmentasi, ujar Jaffrey, praktis gerakan masyarakat yang masih aktif dan masif pergerakannya hanyalah kelompok hardliners yang mengusung intoleransi. Sementara elemen masyarakat sipil di luar kelompok ini malah sering luput dalam membangun perlawanan efektif untuk isu-isu publik yang krusial, seperti tercermin dalam sepinya respon sipil atas pengesahan UU MD3 tempo hari.
Situasi ini sedikit banyak mencetuskan tugas yang harus sesegera mungkin dilakoni: Kita perlu merumuskan bagaimana caranya masyarakat sipil dapat memecah kebuntuan. Tapi sebelumnya, untuk meninjau lanskap gerakan masyarakat sipil kiwari, pijakan pertama yang diambil adalah dengan mengkaji terlebih dahulu “spektrum” Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil.  Ok, bagaimana kabar LSM Indonesia?
Di alam pasca reformasi, LSM (dalam konteks diskusi ini, dapat juga disebut sebagai NGO/Ornop/CSO) Indonesia berada di posisi yang unik. Berbeda dengan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina, LSM Indonesia sangat mengambil jarak dengan parlemen, bahkan cenderung alergi untuk bersentuhan dengannya. Tak hanya memusuhi parlemen, ia juga memusuhi gagasan untuk membangun hubungan dengan parlemen. Seakan-akan apabila LSM sedikit saja berinteraksi dengan parlemen dalam sekejap mereka sudah kehilangan independensi. Sebab itu, LSM Indonesia tak memiliki tradisi untuk menjalin hubungan strategis jangka panjang dengan aktor legislatif demi mendorong isu dan kepentingan mereka.
Tradisi ini menghasilkan apa yang disebut dengan “legal fetishism”, dimana LSM menolak terlibat dalam proses politik parlemen dan memilih untuk menggantungkan harapan pada putusan pengadilan, hasil judicial review, dan ranah eksekutif untuk mengajukan undang-undang, atau lebih sering lagi, pada kekuatan prerogatif presiden untuk mengintervensi situasi. Kecenderungan ini mudah dilihat dari pernyataan standar LSM selama ini: “A: Menuntut Pemerintah Untuk…”, “B: Mendesak Pemerintah Untuk…”, ad infinitum. Sementara itu jejaring strategis dengan ranah legislatif jarang pernah dirintis. Apalagi, upaya mobilisasi dukungan untuk mendorong perubahan sering terbatas, bahkan merasa cukup puas dengan menjadi bagian dari netizen yang bisanya cuma bising di dunia maya.
LSM seperti alpa akan tugasnya yang diemban terutama saat era Reformasi bergelora –  selaku bagian dari civil society, ia hadir untuk memperkuat demokrasi. LSM tidak sadar bahwa alerginya terhadap parlemen dan ketergantungannya yang berlebihan terhadap eksekutif sesungguhnya telah menciptakan preseden buruk; bahwa proses politik boleh di-bypass begitu saja setiap kali dipandang perlu. Kebiasaan ini justru memperlemah demokrasi. Hal ini dapat kita lihat pada satu kesempatan di tahun 2015, saat ramai berhembus isu untuk membubarkan parlemen. Respon masyarakat sipil? Adem ayem saja. Diam-diam mungkin malah menyetujui.
Dampak yang langsung terasa dari jarak LSM dengan parlemen adalah hampir tidak adanya bargaining power yang dimiliki LSM dalam proses pengambilan kebijakan di Indonesia. Lobi-lobi LSM di parlemen masuk kuping kiri, keluar kuping kiri. Temu dengar dengan parlemen berubah jadi formalitas belaka karena LSM tak ubahnya anjing galak yang ompong: mahir menggonggong, tapi semua hadirin tahu bahwa ia tak mampu menggigit.
Pembacaan paling pahit dari situasi ini adalah: ada atau tidaknya LSM seperti tak ada pengaruhnya bagi suatu kebijakan. Realitasnya di lapangan, acap kali LSM sudah tidak dianggap. Programnya hari ini tambah sulit untuk dicerna dan diterima masyarakat. Di dalam sektor HAM, ada empat isu yang selalu “dipasrahkan pada nasib”: hukuman mati, LGBT, Ahmadiyah dan Komunisme, serta terorisme. LSM bisa bicara panjang tentang keempat isu ini, tetapi hasilnya seperti sudah dapat diprediksi sejak awal. Melihat posisinya, jangankan melancarkan critical engagement, masih punya kesempatan tatap muka saja sudah bagus. Sekelumit kisah suram para pekerja LSM mengeluhkan bahwa pertemuan dengan anggota parlemen “eks-gerakan” di kesempatan temu dengar pun kadang ditutup dengan sesi nostalgia murahan nirfaedah.
Di lain pihak, pemerintah tambah getol mengulik cara untuk mengontrol hidup-mati sebuah LSM. Ini dilakukan terutama dengan menyasar “jantung” LSM, yakni pendanaan dari lembaga donor. Upaya mengontrol pendanaan ini kian masif sejak tahun lalu, saat Uni Eropa ingin membatasi ekspor sawit dari Indonesia karena produk sawitnya yang tidak ramah HAM. Pemerintah yang sedang haus devisa murka dibuatnya. Segera beredar isu bahwa dana bantuan lembaga donor ingin dibatasi, terutama untuk lembaga-lembaga yang dituduh “menjelekkan” Indonesia di forum luar negeri. Puncaknya, kabar yang berkembang kemudian adalah Negara akan meniru skema pendanaan asing dari Rusia dengan membentuk trust fundsebagai wadah bagi bantuan donor asing. Trust fund ini nanti akan dikelola pemerintah, sementara LSM yang hendak mengakses pendanaan wajib menyerahkan proposal dan didata sebagai “foreign agent”. Ketergantungan LSM terhadap lembaga donor memang selalu jadi persoalan, tapi skema ini malah akan memperparah situasi yang sudah runyam ini.
Sampai sini kita harus kembali pada pertanyaan klasik: masih relevankah menaruh harapan pada gerakan masyarakat sipil untuk menyatukan kekuatan dan membangun oposisi? Melihat kondisi sekarang: sulit. Seperti yang disampaikan Jaffrey, fragmentasi kronis di kalangan masyarakat sipil membuat para LSM kesulitan mencapai titik temu. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, upaya menyatukan LSM di Indonesia memang selalu kandas di tengah jalan, tapi percakapan yang mengarah kesana tetap rutin dilaksanakan. Kini hasrat tersebut boleh dibilang sudah raib sama sekali. Masing-masing lembaga terlalu berorientasi untuk memenuhi target domestiknya. Belum lagi perkara persaingan dana, atau mengutip istilah LSM, “rebutan lapak”, yang kerap berakhir menjadi perselisihan berkepanjangan. Kerjasama yang tumbuh dari kondisi ini akhirnya bersifat taktis belaka, sebatas misalnya untuk siaran pers bersama, koalisi temporer, atau berbagi tempat rapat. Tidak lebih.
Penyebab utamanya barangkali memang kultur LSM yang tidak lagi menyasar pada pembangunan kekuatan alternatif di tengah masyarakat. Skema pendonoran, “jantung” LSM yang telah disebut di atas, tak ayal turut menciptakan LSM yang saling tersekat dalam program masing-masing. Misinya jadi kelewat pragmatis dan sederhana; mengamankan pendanaan. Program pendidikan publik di daerah ditutup satu demi satu. Sementara masyarakat di daerah mengeluhkan kebiasaan dimana semua kasus harus “semua dibawa ke Jakarta”. Walhasil, generasi baru keburu menganggap bahwa LSM sekedar pemadam kebakaran yang baru kalang-kabut kalau ada api dan tak lagi memiliki kemampuan untuk membuat wacana atau terobosan baru. Lekas buang jauh-jauh impian lahirnya gerakan akar rumput, karena tanpa disadarinya, LSM telah menjadi layang-layang putus yang makin jauh meninggalkan masyarakat luas.
Kombinasi antara faktor – faktor diatas, ditambah polarisasi yang terjadi pasca Pemilu 2014 – antara mereka yang mendukung Joko Widodo, Prabowo, atau menolak mendukung keduanya –  dan lack of leadership di kalangan masyarakat sipil, telah menciptakan vakum dalam gerakan sosial yang akhirnya diisi oleh kelompok – kelompok yang kini mengusung sentimen sektarian.
 Urgensi
Pada 2014, bisa dibilang hampir segenap elemen masyarakat sipil terlanjur mengkultuskan kedua calon yang ada: Joko Widodo sebagai penyelamat dan Prabowo sebagai penjahat. Tidak ada imajinasi lain di luar pengkultusan figur tersebut. Blunder ini yang belakangan membuat masyarakat sipil gamang dan serba ragu untuk mengkritik Joko Widodo. Gara-gara hipnotis populisme, LSM gagal merancang peta bagi gerakan masyarakat sipil pasca kemenangan Joko Widodo. Niatan untuk “mengawal Joko Widodo secara kritis” nyatanya tidak pernah terlaksana. Kekeliruan ini harus diakui dan dibenahi secara serius menjelang 2019.
Setelah dibikin kenyang melihat sepak terjangnya selama 4 tahun terakhir, semakin jelas bahwa citra demokratis rezim ini tiada beda dengan gambar tempel yang mulai pudar warnanya. Hari ini dengan percaya diri (karena nyaris tidak ada yang membayangkan calon selain dirinya dapat menang pada 2019 nanti) Presiden menikmati kompetisi balap karung politik berhadiah posisi Cawapres, sementara ia tinggal leha-leha sambil menonton dari puncak piramida. Di saat yang sama, hegemoni rezim mendesak gerakan sosial yang masih tersisa di luar istana untuk segera bergabung dengan gerbong Nawacita kalau masih ingin dianggap relevan oleh penguasa dan tidak tenggelam dalam obscurity.
Melihat keadaan ini, wajar kalau beberapa dari kita dihinggapi putus asa, bahkan apatisme, karena menyadari bahwa kemungkinan besar dominasi rezim ini akan berlanjut hingga periode kedua. Meski demikian, kita tahu bahwa apabila status quo terus berlanjut, tatanan demokrasi itu sendiri terancam sulit untuk pulih kembali. Keruntuhan demokrasi terus berjalan terlepas dari siap atau tidaknya kita menerima kenyataan. Kenyataan bahwa meskipun sulit dan kecil peluangnya, kita harus mulai bertaruh di antara opsi-opsi yang saat ini tersedia. Saatnya menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama gentayangan: Bagaimana cara kita mengganti Joko Widodo? Apakah dengan mendukung oposisi yang muncul, siapapun dia? Jika ya, siapkah kita mulai beriringan dengan tokoh seperti Gatot Nurmantyo atau Prabowo Subianto? Jika tidak, adakah jalan lain? Apakah dengan mengupayakan agar pemilu 2019 dinyatakan tidak valid (batal demi hukum akibat regulasi threshold dalam UU No. 7 tahun 2017)? Atau dengan mengusung kampanye golput?
Terlepas dari jawaban yang kita pilih nanti, adalah esensial untuk segera mengupayakan konsolidasi bagi masyarakat sipil yang tengah berceceran ini dan mengupayakan jalan ketiga. Organisasi masyarakat sipil perlu untuk menyesuaikan orientasi kelembagaannya demi menyambut pertempuran yang telah menanti di depan. Dengan konsolidasi, kita tidak akan lagi secara taklid buta menyerahkan cita-cita demokrasi pada satu figur atau kelompok tanpa strategi dan perencanaan yang masuk akal, seperti yang terjadi secara tragis pada 2014. Pada akhirnya, memang kepemimpinan sipil yang menjanjikan hanya bisa dirintis lewat dinamika di dalam masyarakat sipil itu sendiri, sehingga ia tidak akan mudah digerus oleh transaksi politik di kemudian hari. Petunjuk jalan untuk menuju kesana tidak akan tiba-tiba muncul dalam waktu dekat, tapi ia penting untuk selalu diupayakan. Selebihnya, prioritas dan sasaran kita sampai setahun ke depan – rasanya sudah jelas: Tidak, tidak lagi kita memilih dengan logika lesser evil, rezim Joko Widodo maupun pilihan tokoh korup-pelanggar HAM-intoleran lainnya harus berakhir di periode ini.

*Artikel bersumber dari resume Sorge Magazine

0 Response to "Masih Relevankah Gerakan Masyarakat Sipil?"

Post a Comment

Iklan Atas Arikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel